Kasus dugaan penghinaan terhadap Ayahanda Prof. Dr. Abd Kadim Masaong membuat marah Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Gorontalo. Mereka tidak sekadar berdiri sebagai saksi, tetapi tampil sebagai garda terdepan dalam mengawal harga diri seorang tokoh besar Muhammadiyah yang selama puluhan tahun mengabdikan hidupnya bagi pendidikan dan pergerakan umat.
Prof. Kadim bukan figur sembarangan. Ia pendiri pertama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Gorontalo, arsitek awal gerakan intelektual Muhammadiyah di daerah ini, dan seorang panutan yang jejak pemikirannya masih menjadi pegangan kader hingga hari ini. Menyerang beliau berarti menyerang simbol kecendekiaan, kemuliaan, dan marwah Muhammadiyah itu sendiri.
Unggahan yang Melampaui Batas Etika
Unggahan akun Facebook berinisial ZH, yang menggunakan diksi “Seekor Kadim,” bukan sekadar kritik. Itu adalah hinaan vulgar yang mempreteli martabat seorang tokoh publik. Kalimat tersebut menembus batas kesopanan dan menginjak nilai budaya Gorontalo yang *adat bersendikan Sara, Sara bersendikan Kitabullah*, termasuk penghormatan terhadap tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Karena itu, langkah hukum yang ditempuh UMGO dan LKBH bukan tindakan emosionalmelainkan bentuk pembelaan terhadap kehormatan akademik dan kemanusiaan. Sebuah institusi pendidikan tidak boleh dibiarkan diinjak oleh ujaran kebencian yang terselip di balik nama akun anonim.
AMM: Ketegasan adalah Tanggung Jawab Moral
Angkatan Muda Muhammadiyah Gorontalo merespons tegas. Mereka menyatakan bahwa penghinaan terhadap Prof. Kadim adalah tamparan bagi seluruh kader Muhammadiyah—baik yang masih aktif maupun alumni yang kini bertebaran di berbagai lini profesi.
Sikap AMM sederhana namun tegas:
Ketika tokoh yang membesarkan dan membina mereka diserang dengan hinaan, maka diam bukan pilihan.
Kader IMM, Pemuda Muhammadiyah, IPM hingga Nasyiatul Aisyiyah bergerak serentak mengawal proses hukum. Tidak untuk melakukan tekanan, tetapi untuk menunjukkan bahwa harga diri persyarikatan akan selalu dipertahankan, apa pun risikonya.
Ketua Nasyiatul Aisyiyah Gorontalo, *Kartin Potutu*, angkat suara dengan penuh ketegasan.
Ia menyatakan:
“Ayahanda Prof. Kadim adalah tokoh yang membimbing ribuan kader, termasuk para perempuan muda Muhammadiyah. Menghina beliau berarti merendahkan seluruh proses dakwah dan pendidikan yang telah beliau bangun. NA mengecam keras tindakan tersebut dan meminta aparat memprosesnya secara profesional.”
Kartin menambahkan bahwa NA tidak akan membiarkan ruang digital menjadi tempat tumbuhnya kebencian terhadap tokoh umat.
“Perempuan Muhammadiyah berdiri tegak bersama AMM. Kami akan mengawal kasus ini sampai tuntas sebagai bentuk penghormatan kami kepada Ayahanda Prof. Kadim.”
Sikap lebih keras datang dari Ketua DPD IMM Gorontalo, *Arif Bina*, yang menegaskan posisi IMM sebagai organisasi kader intelektual Muhammadiyah.
“Prof. Kadim adalah ayah ideologis kami. Beliau pendiri IMM Gorontalo. Menghina beliau berarti menghina seluruh kader merah marun. IMM tidak akan tinggal diam dan akan mengawal proses hukum sampai selesai—tanpa kompromi.”
Arif juga mengingatkan bahwa kasus ini bukan sekadar persoalan pribadi, tetapi menyangkut harga diri organisasi.
“Kami tidak mencari ribut. Tetapi ketika tokoh kami dihina, kami berkewajiban berdiri. Ini tentang kehormatan, sejarah, dan identitas intelektual yang dibangun dengan perjuangan panjang.”
LKBH UMGO: Hukum Harus Menjadi Panglima
Dalam pelaporan resmi ke Polda Gorontalo, LKBH UMGO menegaskan bahwa ruang digital harus tetap berada dalam kendali hukum. Kebebasan berekspresi bukan alasan untuk menghina, merendahkan, atau menyerang kehormatan pribadi seseorang.
Pernyataan Suslianto, kuasa hukum LKBH UMGO, mencerminkan posisi moral tersebut:
"Kami menyerahkan seluruh proses hukum ini kepada penyidik. Namun kami ingin memastikan bahwa ruang publik tidak dibiarkan menjadi tempat berkembangnya ujaran kebencian."
Menyerang Tokoh Muhammadiyah Bukan Perkara Kecil
AMM Gorontalo memahami betul siapa Prof. Kadim. Beliau bukan sekadar rektor—beliau adalah sejarah berjalan Muhammadiyah Gorontalo. Sosok yang membesarkan ribuan kader, pemikir yang menggerakkan kampus, dan penjaga marwah intelektual Muhammadiyah di Sulawesi.
Menghina beliau bukan sekadar persoalan media sosial, tetapi serangan terhadap nilai dan kehormatan. Karena itu AMM menegaskan bahwa proses hukum harus tuntas dan tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Refleksi Moral untuk Masyarakat Digital
Kasus ini menjadi pengingat bahwa media sosial bukan ruang bebas dari norma. Siapa pun yang mengambil jalan provokasi dan penghinaan harus siap mempertanggungjawabkan ucapannya secara hukum.
AMM Gorontalo berharap kasus ini menjadi pendidikan bagi seluruh masyarakat agar lebih bijak dalam bermedia sosial. Sebab ruang digital yang bebas tanpa etika hanya akan melahirkan konflik, kebencian, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap nilai-nilai kearifan lokal.
