Gorontalo, 14/05/2025 | Gorontalo
kembali diwarnai dengan aksi kekerasan terhadap kebebasan berpendapat. Seorang
aktivis mahasiswa menjadi korban penganiayaan oleh orang tak dikenal (OTK)
dalam insiden yang memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak.
Ironisnya,
peristiwa tersebut terjadi di tengah terus didengungkannya jargon “demokrasi”
dan “kebebasan berekspresi”. Namun, kasus kekerasan terhadap aktivis mahasiswa
masih terus berulang, dan yang lebih memprihatinkan, seringkali disambut dengan
sikap diam dari aparat penegak hukum maupun lembaga negara.
Sekretaris
Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah
se-Indonesia (BEM PTMAI), Farel Novriyanto W. Kahar, mengecam keras tindakan
tersebut. Ia menyebut kasus ini bukan sekadar kejahatan kriminal, tetapi
merupakan bentuk teror sistematis terhadap kebebasan berekspresi.
"Ini
adalah bentuk nyata teror terhadap suara kritis, sebuah pesan kekerasan bahwa
siapa pun yang berani bersuara bisa dibungkam dengan cara-cara pengecut. Ketika
mahasiswa, yang sejatinya menjadi corong nurani rakyat, diserang secara brutal
karena menyuarakan kritik, maka yang diserang bukan hanya individu, tapi juga
nilai-nilai demokrasi itu sendiri," tegas Farel dalam pernyataannya, Rabu (14
Mei 2025).
Ia juga
menyoroti sikap aparat yang dinilai lamban dan normatif dalam menindaklanjuti
kasus ini. Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai pelaku maupun motif di
balik penganiayaan tersebut.
“Apakah
kekerasan terhadap aktivis kini menjadi hal yang dibiarkan? Publik berhak tahu
dan aparat wajib menunjukkan keberpihakan pada keadilan, bukan pada pembiaran,”
tambah Farel.
Kondisi ini,
lanjutnya, memperlihatkan bahwa ruang kebebasan sipil di Gorontalo dan bahkan
Indonesia secara umum kian menyempit. Saat kritik dibalas intimidasi,
keberanian dibalas kekerasan, dan keadilan dibalas pembiaran, maka sudah
saatnya publik bertanya: apakah demokrasi kita sedang mengalami kemunduran?
BEM PTMAI
mendesak agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus ini, menangkap
dan mengadili pelaku, serta menjamin tidak terulangnya kekerasan terhadap
aktivis. “Dan kepada pemerintah, diam Anda adalah bentuk persetujuan. Maka
bersuaralah, bertindaklah jika benar negara ini masih berpihak pada keadilan
dan kemanusiaan,” tutup Farel.