Dr H Salahudin Pakaya M.H (Wakil Rektor II UMGO)
Oleh
:
Dr. Salahudin Pakaya
Demokrasi merupakan sistem atau cara yang mutakhir atau terkini untuk menata segala aspek kehidupan hampir di semua komunitas manusia di dunia (baca; Bangsa dan Negara). Demokrasi dianggap mampu memberikan sesuatu yang selama ini diharapkan setiap orang, yaitu keadilan, kesetaraan dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia. Akan tetapi hal ini masih bersifat ideal dan teoritis karena dalam berbagai keadaan dan fakta, demokrasi hari ini terkadang hanya dijadikan sebagai alat (instrumen) untuk melahirkan tirani baru yang tidak bedanya dengan sistem otoriter sebagaimana pernah dialami dalam sejarah peradaban manusia.
Tirani demokrasi inilah yang kemudian meresahkan sehingga melahirkan sebuah kesimpulan bahwa demokrasi ternyata belum bisa diharapkan untuk dapat memperbaiki kehidupan manusia. Padahal kalau merujuk pada definisi demokrasi adalah kedaulatan rakyat, dimana dalam kata kedaulatan ini terdapat didalamnya kedaulatan atau kekuasaan yang dapat menentukan segala keadaan yang diinginkan. Misalnya saja kekuasaan untuk membuat aturan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman hidup warga negara dalam upaya pencapaian harapan hidup yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jika rakyat (mayoritas) berdaulat / berkuasa membuat aturan atau
kebijakan dalam pemerintahan suatu negara, maka tidak mungkin rakyat itu akan
membuat sesuatu yang bertentangan dengan kebutuhan dan keinginannya, sebab yang
paling tahu apa yang baik bagi dirinya
adalah dirinya sendiri. Dalam konteks ini muncullah suatu ungkapan dalam kajian
ilmu pemerintahan yang demokratis yang pernah disuarakan Abraham Lincoln Government of the people, by the people, for
the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Dalam perspektif demokrasi perwakilan yang mana kedaulatan rakyat
diberikan kepada sejumlah orang yang dipilih untuk menjalankan kedaulatan itu,
bisa saja terjadi penyimpangan kedaulatan yang berimplikasi pada tirani
kekuasaan. Penyimpangan kedaulatan dalam bentuk tirani kekuasaan adalah
lahirnya kebijakan para pemegang mandat kedaulatan rakyat yang tidak sesuai
kebutuhan dan keinginan rakyat, hal ini banyak disebabkan oleh dominasi
kepentingan pribadi pemegang kedaulatan yang ingin memenuhi kebutuhan dan
keinginan hidupnya yang berorientasi pada kehidupan hedonis dan materialis.
Kecenderungan demokrasi diperalat sebagai pembenaran terhadap perilaku tirani,
diakibatkan dari salah satu prinsip demokrasi yang menitikberatkan pada aspek
mayoritas, yaitu pengakuan atau pembenaran terhadap sesuatu yang diakui,
dipilih, disetujui dan disepakati oleh orang banyak atau kelompok dominan.
Padahal dalam berbagai fakta sesuatu yang disukai orang banyak itu belum tentu sesuatu yang memenuhi nilai-nilai
kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Jika orang banyak (mayoritas) ini lebih memilih, menyetujui dan
menyepakati kebathilan dan keburukan
(baca: kejahatan), maka sudah tentu jika didasarkan pada sistem demokrasi yang
menitikberatkan pada aspek masyoritas, maka segala bentuk kejahatan akan
senantiasa mewarnai kehidupan manusia. Sementara kebenaran, keadilan dan
kebaikan akan terhimpit dan tenggelam bersamaan dengan kelompok minoritas yang
memilih dan menyukainya, fenomena ini menandai bahwa antara nilai
dan simbol demokrasi masih jauh
kerentangannya.
Ketika demokrasi diakui hanya sebatas sebuah intsrumen yang mutkahir
dalam peradaban manusia terkini, maka perlu dikoreksi tingkat apresiasinya
terhadap nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kebaikan. Untuk mengetahui dan
memahami kebenaran, keadilan dan kebaikan, tentu harus merujuk pada ajaran-ajaran yang
konsisten menjaga nilai-nilai tersebut. Menurut pandangan umum bahwa ajaran
yang senatiasa konsisten mengajarkan kebenaran, keadilan dan kebaikan hanyalah
Agama (lebih khusus Islam).
Doktrin Islam mengajarkan bahwa hakikat kebenaran dan kebaikan secara
mutlak berada dalam kewenangan Tuhan – al
Haqqu min Rabbihim. (Q.S: Muhammad: 2-3), oleh karena itu Tuhan sebagai otoritas tunggal dalam menilai
keadilan, kebenaran dan kebaikan. Tuhan kemudian menciptakan manusia sebagai
wakil-Nya di bumi (Khalifah fil Ardhi)
yang sudah tentu wajib menjalankan tugas untuk menegakkan keadilan, kebenaran
dan kebaikan dalam kehidupan di bumi. Dalam menjalankan tugas ke-khalifahan ini manusia dimodali dengan
sejumlah firman (kalam Tuhan) yang
terkompilasi dalam suatu kitab suci yakni Al Quran.
Al Quran diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk agar tidak menyimpang dari fungsinya sebagai Khalifah fil Ardhi, sekaligus dapat
memperjelas arah dan tujuan hidup manusia dalam mengelola dan memakmurkan bumi
ini. Dalam Al Quran ini banyak
mengisahkan manusia-manusia terpilih (baca: Nabi dan Rasul) yang berhasil mengemban
amanah sebagai Khalifah fil Ardhi, hal
ini sengaja dikisahkan supaya menjadi contoh tauladan bagi generasi manusia kemudian.
Jadi dalam konsep Islam antara kekuasaan Tuhan yang mutlak dan kehendak
bebas manusia, pada hakikatnya memilki
keterikatan yang kuat, karena Tuhan sebagai pemilik otoritas tunggal alam
semesta telah memberikan mandat kepada Manusia untuk menjalankan otoritas itu
di atas bumi. Tetapi Manusia tidak boleh sewenang-wenang menjalankan mandat
dari Tuhan ini, sebab dikemudian hari akan diminta pertanggung jawabannya.
Manusia seolah memperoleh kebebasan yang luas yang mengakibatkan dirinnya
terjerumus pada perbuatan yang melampui batas-batas moral (keadilan, kebenaran
dan kebaikan).
Kebebasan berkehendak inilah yang banyak menjebak Manusia di zaman
kekinian dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya saja pada aspek kehidupan
politik yang banyak diwarnai oleh perebutan kekuasaan dengan menggunakan segala
cara. Manusia saat ini hampir sebagian besar menggunakan cara Demokrasi untuk
memperoleh kekuasaan yang ditandai dengan pemufakatan bersama. Bahkan demokrasi
telah menemukan jalan yang pintas untuk memperoleh pemufakatan bersama itu
dengan cara emungutan suara melalui
pemilihan umum (pemilu). Dengan pemungutan suara rakyat dalam pemilu ini
menghasilkan siapa manusia yang mendapatkan “suara terbanyak” untuk menduduki
kekuasaan dengan dalih bahwa dialah yang mendapatkan legitimasi dari rakyat.
Dalam konteks inilah penulis
memunculkan suatu konsep Teologi
Demokrasi sebagai terminologi baru yang perlu
dikaji dan dicarikan model aplikasinya, mungkin istilah ini dari segi bahasa
akan banyak mengundang perdebatan, sebab teologi
yang kajiannya menyimpulkan bahwa hakikat kedaulatan ada dalam genggaman
Tuhan, sedangkan demokrasi sebagaimana
dipahami secara umum bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Semakin sulit lagi jika
pandangan terhadap dua hal ini (teologi dan demokrasi) adalah hal yang berdiri
sendiri-sendiri dan tidak akan mungkin saling berhubungan dan bersentuhan.
Teologi dalam pemikiran ulama
Islam mengalami diskursus yang panjang, utamanya mempersoalkan kekuasaan Tuhan
dan kebebasan Manusia. Ada yang berpendapat bahwa Manusia bebas bertindak
tetapi memiliki keterbatasan, yang mana keterbatasan Manusia itu karena adanya
kekuasaan Tuhan. Ada juga yang berpendapat bahwa Manusia memiliki kebebasan
yang mutlak dalam bertindak, sedangkan posisi Tuhan tinggal menilai perbuatan
Manusia itu. Tulisan ini tidak ingin masuk pada perdebatan teologi dalam
sejarah pemikiran ulama Islam, tetapi kajian tentang konsep Teologi Demokrasi
ini hendak mengarahkan pada pemikiran manusia atas fakta yang terjadi bahwa
demokrasi semakin jauh dari nilai-nilai moral dan ketuhanan.
Manusia saat ini semakin tidak menyadari bahwa eksistensinya sebagai makhluk
yang tercipta telah berani dan lantang melakukan pembangkangan terhadap nilai-nilai
yang dikehendaki Tuhan yang menciptakannya, salah satu upaya pembangkangan itu menggunakan
alat yang bernama demokrasi, yang mengarah pada kebebasan manusia secara mutlak
sehingga berbuat apa saja sesuai keinginnannya.
Pembangkangan atas nama demokrasi terjadi misalnya dalam suatu waktu akan adanya
kesepakatan orang banyak atau pemufakatan bersama dengan dalih demokrasi
(mutlak mayoritas) untuk membenarkan sesuatu, meskipun sesuatu itu adalah perilaku
kejahatan yang membawa pada malapetaka kemanusiaan. Pemufakatan bersama bahkan
dengan jalan pemungutan suara agar mempeoleh legitimasi banyak orang adalah
suatu tindakan yang menyimpang dari konsep demokrasi secara hakiki dan
merupakan suatu tirani demokrasi.
Di zaman yang semakin mengukuhkan demokrasi sebagai salah satu sistem terbaik
untuk diterapkan dalam segala aspek kehidupan social-politik dan ekonomi, perlu
dilakukan suatu tindakan strategi yang berorientasi pada dianutnya nilai
kebenaran, keadilan dan kebaikan oleh
orang banyak. Jika orang banyak itu sudah menghendaki agar nilai-nilai kebenaran,
keadilan dan kebaikan itu tetap dan harus dipertahankan, maka kehidupan suatu
bangsa dan negara akan terhindar dari tirani demokrasi.
Individu atau kelompok apabila mendapatkan dirinya dalam posisi lemah
(minoritas), maka akan cenderung untuk mengidentifikasikan diri pada kelompok
yang dominan. Proses ini bisa terjadi karena adanya keinginan untuk merasakan hal
yang sama dengan kelompok dominan yang menguasai system kehidupan masyarakat.
Atau sebaliknya pada saat yang sama terjadi adanya keinginan atau bahkan
paksaan dari kelompok dominan untuk menjadikan dirinya sebagai referensi bagi
kelompok yang lemah. (Demokrasi dan Hak
Asasi Manusia /Basrowi:Susilo, Suko : 2006, h. 24).
Jika setiap individu senantiasa tidak bersentuhan lagi dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, maka secara bertahap individu itu akan
memasuki tahap split personality
(kehancuran moral kepribadian) orang seperti ini akan menghalalkan segala cara.
Dan gilirannya apabila individu yang retak kepribadiannya tersebut dapat
menjadi kelompok yang dominan, niscaya kejahatan akan merajalela kapan dan di
mana pun dan akan semakin sulit dicegah
dan dibasmi, bahkan yang lebih fatal lagi jika kejahatan ini sudah by design
atau di organisir secara structural kelembagaan dengan
menggunakan instrumen demokrasi suara terbanyak an sich . Dalam kontek inilah sebetulnya Pemilu
hanyalah merupakan bagian dari
demokrasi, yang disebut demokrasi
procedural.
Demokrasi akan mempunyai arti konkrit dan terasa bagi perbaikan kualitas
hidup manusia (fisik dan mental) jika di kelola oleh individu-individu yang
memiliki komitmen pada nilai-nilai yang mulia dalam pandangan kemanusiaan dan
ketuhanan. Sekelompok individu (orang) yang memiliki komitmen seperti ini yang
seharusnya lebih banyak diciptakan melalui pendidikan dan pengajaran di setiap
lembaga dan komunitas baik secara formal maupun non-formal.
Dalam konteks ajaran Islam diperintahkan agar setiap manusia melakukan
kegiatan yang sifatnya mengajak (berdakwah) semua manusia di atas dunia ini
untuk mengikuti jalan-jalan yang perintahkan oleh Allah Rabul Alamin agar
tercipta suatu kondisi kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahterah dalam berkah
Allah Swt. Kegiatan berdakwah inilah yang merupakan suatu cara yang paling
efektif untuk memperbanyak individu (orang-orang) beriman dan bertakwa yang
berkomitmen pada nilai kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Dalam Al Quran Allah berfirman : ”Dan
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.(Q.
S. Al-A’raf : 96).
Memperbanyak orang-orang yang beriman dan bertakwa telah menjadi suatu
persyaratan mutlak dalam kondisi kehidupan kekinian, karena berpacu dengan
dinamika kehidupan yang menglobal (mendunia) yang tidak bisa lagi dihindari
terjadi interaksi dan hubungan langsung
maupun tidak langsung atar budaya dan peradaban. Jika orang beriman dan bertakwa
makin banyak jumlahnya, maka peradaban manusia akan mengarah pada moral-konstruktif. Banyaknya orang
beriman dan bertakwa akan berimplikasi pada terciptanya kondisi kehidupan suatu
komunitas masyarakat yang adil, makmur dan sejahterah. Karena orang beriman dan
bertakwa memiliki tanggung jawab moral dalam tugas ke-khalifahan-nya (kepemimpinannya) dalam arti mereka tidak akan
mengkhianati amanah yang berikan kepadanya. Sikap ini didasari oleh keyakinan
bahwa amanah (tugas kepemimpinan) tidak hanya datang dari manusia tetapi
hakikatnya amanah itu datang dari Allah (Tuhan Sang Pemilik Kekuasaan).
Jika orang beriman dan bertakwa yang memiliki tanggungjawab moral
berselisih paham dalam suatu urusan, maka bisa dipastikan jalan penyelesaiannya
adalah musyawarah. Musyawarah diyakini oleh mereka sebagai cara efektif yang diajarkan
oleh Allah Swt melalui Al Quran untuk menyelesaikan perselesihan ( Q.S.
Asy-Syura :38). Jika perselisihan ini pula telah mengakibatkan permusuhan, maka
orang beriman dan bertakwa akan menganjurkan pada perdamaian.
Cara pemungutan suara untuk memperoleh suarat terbanyak adalah jalan
yang paling terakhir digunakan oleh orang beriman dan bertakwa, itupun yang
dikuatkan dengan jalan suara terbanyak bukan masalah yang bertentangan dengan
syariat, tetapi dalam hal menentukan suatu prinsip dalam kebaikan. Hal ini bersesuaian
dengan pendapat Imam Al Gazaly yang
mengatakan : Andaikata mereka berselisih
pendapat pada suatu prinsip, wajiblah dikuatkan dengan suara terbanyak. Karena
suara terbanyak itu, adalah jalan terkuat yang ditempuh dalam mengambil
keputusan. (T.M. Hasbi Ash Shiddieqy : Islam & Politik Bernegara;
2002).
[1] Opini
untuk mengukuhkan konsep ketuhanan dalam berdemokrasi di Indonesia
[2] Dosen
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Gorontalo